Gunung Gumitir (dialek Jawa: gumitèr) merupakan sebuah gunung yang terletak di wilayah perbatasan antara Kabupaten Jember dengan Kabupaten Banyuwangi, lebih tepatnya antara kecamatan Silo dengan kecamatan Kalibaru, Provinsi Jawa Timur.Gunung ini terkadang juga disebut dengan nama Gunung Mrawan (bukan desa Mrawan).
Sejak zaman dulu, jalan raya di Gunung Gumitir telah menjadi jalur penghubung terpendek antara Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Gunung Gumitir dipilih sebagai jalur penghubung, karena memiliki ketinggian paling rendah di antara deretan pegunungan yang lain, dari Gunung Raung (utara) hingga Gunung Kidul (selatan).
Sejak zaman dulu, jalan raya di Gunung Gumitir telah menjadi jalur penghubung terpendek antara Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Gunung Gumitir dipilih sebagai jalur penghubung, karena memiliki ketinggian paling rendah di antara deretan pegunungan yang lain, dari Gunung Raung (utara) hingga Gunung Kidul (selatan).
Sejarah
Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat, terutama penduduk kabupaten Banyuwangi, nama gumitir berasal dari kisah Damar Wulan. Setelah Damar Wulan berhasil membunuh dan memenggal kepala Menak Jinggo, ia bertemu Layang Seta dan Layang Kumitir, putra kembar patih Logender, di tengah jalan. Keduanya berhasil menipu Damar Wulan dan merampas kepala Menak Jinggo.Gunung tempat keduanya menipu Damar Wulan akhirnya dikenal dengan nama Gunung Kumitir atau Gunung Gumitir.
Pembuatan Jalan Gumitir |
Masa Kolonial
Wilayah Gunung Gumitir telah menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda, antara lain pembangunan lintasan kereta api oleh Staatsspoorwegen pada tanggal 10 September 1902 dan pembangunan pabrik pengolahan kopi Goenoeng Goemitir yang diresmikan pada tanggal 13 Agustus 1934.
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, serdadu Dai Nippon membangun sebuah gua untuk mengawasi jalur kereta api yang melintasi Gunung Gumitir. Gua Jepang tersebut terletak sekitar 100 meter dari Watu Gudang, terbuat dari beton tebal dengan ukuran sekitar 6 m × 8 m.
Masa Kemerdekaan
Wilayah Gunung Gumitir dilindungi dan dikelola oleh Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Barat dan PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) unit Kebun Gunung Gumitir.
Jalur Transportasi
Jalan raya di Gunung Gumitir adalah satu-satunya jalur penghubung antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember. Jalan dengan panjang sekitar delapan kilometer ini berkelok-kelok menyusuri tepian gunung. Puncak teratas dari jalan raya ini dikenal dengan nama Watu Gudang. Dinamai demikian karena disini terdapat batu raksasa (diibaratkan ukurannya sebesar gudang) yang harus dihancurkan bagian tengahnya agar batu tersebut dapat dilewati oleh jalan raya. Batu Gudang ini pernah kembali dipapras dalam rangka pelebaran jalan.
Jalan raya di Gunung Gumitir cukup berbahaya karena memiliki banyak tikungan tajam, lereng curam, dan lebar jalan yang sangat sempit. Padahal setiap harinya, kendaraan berat seperti truk dan bus selalu melewati jalan raya ini. Sehingga, biasanya di setiap tikungan yang berbahaya selalu ada penduduk setempat yang membantu mengarahkan pengguna jalan dan memberi tanda apakah ada kendaraan dari arah berlawanan yang juga akan melewati tikungan tersebut. Tentu saja, ini sangat membantu para pengemudi kendaraan berat yang melewati jalan ini. Para penunjuk jalan ini biasa disebut awe-awe (Jawa= "melambai-lambai") karena mereka melambai-lambaikan tangan untuk memberi tanda pada pengguna jalan.
Seiring perubahan waktu, pelaku awe-awe tidak hanya sekedar membantu penguna jalan, tetapi berkembang menjadi media untuk meminta-minta. Para penunjuk jalan tersebut umunnya terdesak oleh kebutuhan ekonomi.
Jalan raya di Gunung Gumitir sering terputus akibat tanah longsor. Ini dikarenakan, tanah di Gunung Gumitir tergolong labil dan memiliki tingkat kecuraman lereng yang tinggi. Faktor dominan penyebab longsor adalah penggalian tebing, kemiringan lereng, dan tekstur tanah. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh banyaknya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, jalan, dan bangunan rumah makan.
Secara garis besar, jalan raya di Gunung Gumitir termasuk daerah yang memiliki tingkat kerentanan longsor sedang yang tersebar di sepanjang jalan seluas 24,30 ha.Tingkat kerentanan longsor tinggi terdapat di km 34 hingga km 37+4. Tingkat kerentanan longsor sedang terdapat pada km 40+6 hingga km 41, km 39+4 hingga km 40+6, km 38+5 hingga km 39+4, dan km 37+7 hingga km 38+2. Tingkat kerentanan longsor rendah terletak pada km 32+7 hingga km 34+1 dan km 37+4 hingga km 37+7.
Gunung Gumitir juga ditembus oleh dua terowongan kereta api yang sudah dibangun semenjak masa kolonial Belanda, yaitu terowongan Mrawan dan terowongan Garahan. Terdapat dua buah stasiun yang terletak di wilayah Gunung Gumitir, yaitu Stasiun Mrawan dan Stasiun Garahan, keduanya masih tetap melayani persilangan kereta api tetapi tidak lagi melayani aktivitas naik-turun penumpang.
Konservasi Alam
Kawasan hutan Gumitir merupakan habitat bagi monyet. Sekitar tahun 1990an, banyak penduduk sekitar yang menangkap monyet untuk dijual. Hal tersebut menyebabkan komunitas monyet di Gunung Gumitir menjadi berkurang dan tidak pernah terlihat berkeliaran bebas di tepi-tepi jalan seperti sebelumnya. Setelah ada pengawasan ketat dari Perhutani, komunitas monyet di Gunung Gumitir kembali meningkat meskipun sangat jarang dapat ditemui di tepi jalan.
Setelah kerusuhan 1998, sebagian wilayah hutan Gunung Gumitir ditebang oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dan dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan. Hal tersebut menyebabkan rusaknya wilayah hutan beserta pepohonan berusia puluhan tahun atau lebih serta peningkatan suhu udara rata-rata yang dampaknya terasa hingga ke Kota Kalibaru. Hingga kini, wilayah hutan masih digunakan sebagai lahan perkebunan rakyat dengan hak sewa kepada Perum Perhutani.
Hal ini juga berdampak kepada mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar berubah menjadi petani karena banyak yang memiliki lahan garapan. Selain itu, para pengrajin rotan juga menjadi buruh tani karena bahan baku yang biasa mereka gunakan ikut hilang bersama alih fungsi lahan. Secara garis besar, alih fungsi lahan memberi dampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar.
#Sumber : Wikipedia.com
0 komentar:
Post a Comment